1.
Nama Lain dari Tanaman Sagu
Sagu
(Metroxylon sp.) di duga berasal dari Maluku dan Irian. Hingga saat ini belum
ada data yangmengungkapkan sejak kapan awal mula sagu ini dikenal. Di wilayah
Indonesia bagian Timur, sagu sejak lama dipergunakan sebagai makanan pokok oleh
sebagian penduduknya terutama di Maluku dan Irian Jaya. Teknologi eksploitasi, budidaya
dan pengolahan tanaman sagu yang paling maju saat ini adalah di Malaysia. Tanaman
Sagu dikenal dengan nama Kirai di Jawa Barat, bulung, kresula, bulu, rembulung,
atau resula di Jawa Tengah; lapia atau napia di
Ambon; tumba di Gorontalo;
Pogalu atau tabaro di Toraja; rambiam atau rabi di
kepulauan Aru.Tanaman sagu masuk
dalam Ordo Spadicflorae, Famili Palmae. Di kawasanIndo Pasifik
terdapat 5 marga (genus)
Palmae yang zat tepungnya telah dimanfaatkan, yaituMetroxylon, Arenga, Corypha,
Euqeissona, dan Caryota.Genus yang
banyak dikenal adalah Metroxylon dan Arenga, karena kandungan acinya cukup
tinggi. Sagu
dari genus Metroxylon, secara garis besar digolongkan menjadi dua, yaitu : yang
berbunga atau berbuah dua
kali (Pleonanthic) dan berbunga atau berbuah sekali (Hapaxanthic) yang
mempunyai nilai ekonomis penting, karena kandungan
karbohidratnya lebih banyak. Golongan ini terdiri dari 5 varietas penting yaitu
:
1.
Metroxylon sagus,Rottbol atau sagu molat
2.
Metroxylon rumphii, Martius atau sagu Tuni.
3.
Metroxylon rumphii, Martius varietas Sylvestre
Martius atau sagu ihur
4.
Metroxylon rumphii,Martius varietas Longispinum
Martius atau sagu Makanaru
5.
Metroxylon rumphii,Martius varietas
Microcanthum Martius atau sagu Rotan
Dari
kelima varietas tersebut, yang memiliki arti ekonomis penting adalah Ihur,
Tuni, dan Molat.
Sagu
mempunyai peranan sosial, ekonomi dan budaya yang cukup penting di Propinsi
Papua karena merupakan bahan makanan
pokok bagi masyarakat terutama yang bermukim di daerah pesisir. Pertanaman sagu
di Papua cukup luas, namun
luas areal yang pasti belum diketahui. Berdasarkan data penelitian dan
pengambangan pertanian dapat diperkirakan
luas hutan sagu di Papua mencapai 980.000 ha dan kebun sagu 14.000 ha, yang
tersebar pada beberapa daerah,
yaitu Salawati, Teminabuan, Bintuni, Mimika, Merauke, Wasior, Serui, Waropen,
Membramo, Sarmi dan Sentani.
Sentra
penanaman sagu di dunia adalah Indonesia dan Papua Nugini, yang diperkirakan
luasan budi daya penanamannya
mencapai luas 114.000 ha dan 20.000 ha. Sedangkan luas penanaman sagu sebagai
tanaman liar di Indonesia
adalah Irian Jaya, Maluku, Riau, Sulawesi Tengah dan Kalimantan.
1.
Syarat Tumbuh
Jumlah
curah hujan yang optimal bagi pertumbuhan sagu antara 2.000 – 4.000 mm/tahun,
yang tersebar merata sepanjang
tahun. Sagu dapat tumbuh sampai pada ketinggian 700 m di atas permukaan laut
(dpl), namun produksi sagu terbaik
ditemukan sampai ketinggian 400 m dpl. Suhu optimal untuk pertumbuhan sagu
berkisar antara 24,50 – 29 C dan suhu
minimal 15 C, dengan kelembaban nisbi 90%. Sagu dapat tumbuh baik di daerah 10
LS - 15 LU dan 90 – 180 darajat
BT, yang menerima energi cahaya matahari sepanjang tahun. Sagu dapat ditanam di
dae ah dengan kelembaban nisbi
udara 40%. Kelembaban yang optimal untuk pertumbuhannya adalah 60%. Tanaman
sagu membutuhkan air yang cukup, namun penggenangan permanen dapat mengganggu
pertumbuhan sagu. Sagu
tumbuh di daerah rawa yang berair tawar atau daerah rawa yang bergambut dan di
daerah sepanjang aliran sungai, sekitar
sumber air, atau di hutan rawa yang kadar garamnya tidak terlalu tinggi dan
tanah mineral di rawa-rawa air tawar dengan
kandungan tanah liat > 70% dan bahan organik 30%. Pertumbuhan sagu yang
paling baik adalah pada tanah liat
kuning
coklat atau hitam dengan kadar bahan organik tinggi. Sagu dapat tumbuh pada
tanah vulkanik, latosol, andosol, podsolik
merah kuning, alluvial, hidromorfik kelabu dan tipe-tipe tanah lainnya. Sagu
mampu tumbuh pada lahan yang memiliki
keasaman tinggi. Pertumbuhan yang paling baik terjadi pada tanah yang kadar
bahan organiknya tinggi dan bereaksi
sedikit asam pH 5,5 – 6,5.
1.
Teknologi Perbanyakan tanaman sagu
Teknologi
perbanyakan tanaman sagu dapat dilakuan dengan metode generatif dan vegetatif.
Secara generatif yaitu dengan
menggunakan biji yang berasal dari buah yang sudah tua dan rontok dari
pohonnya. Biji yang digunakan adalah biji
yang berasal dari pohon induk yang baik, yang subur dan produksinya tinggi. Perbanyakan
tanaman sagu secara vegetatif dapat dilakukan dengan menggunakan bibit berupa
anakan yang melekat pada
pangkal batang induknya yang disebut dangkel atau abut (jangan yang berasal dari
stolon).
1.
Persemaian dan Pembibitan
D.1.
Persyaratan Benih atau Bibit
Syarat
bibit untuk pembibitan cara generatif adalah biji yang digunakan sudah tua,
tidak cacat fisik, besarnya ratarata dan
bertunas. Syarat bibit untuk pembibitan cara vegetatif adalah berasal dari
tunas atau anakan yang umurnya kurang
dari 1 tahun, dengan diameter 10-13 cm dan berat 2-3 kg. Tinggi anakan +1 meter
dan punya pucuk daun 3-4 lembar.
D.2.
Penyiapan Benih atau Bibit
a).
Cara generatif
Biji
yang digunakan berasal dari buah yang sudah tua dan jatuh/rontok dari pohon
induk yang baik, yaitu subur dan
produksinya tinggi, tumbuh pada lahan yang wajar serta produksi klon rata-rata
tinggi. Biji/buah yang diambil
tersebut adalah buah yang tidak cacat fisik, besarnya rata-rata, dan bernas.
b).
Cara Vegetatif
Pembiakan
secara vegatatif dapat dilakukan dengan menggunakan bibit berupa anakan yang
melekat pada pangkal
batang induknya. Adapun cara pengadaan adalah sebagai berikut :
1.
Pengambilan dengkel dipilih yang terletak di permukaan atas.
2.
Pemotongan dilakukan di sisi kiri dan kanan sedalam 30 cm, tanpa
membuang akar serabutnya.
3.
Dangkel yang telah dipotong, dibersihkan dari daun-daun dan
ditempatkan pada tempat yang mendapat cahaya
matahari langsung dengan bagian permukaan belahan tepat pada tempat di mana
cahaya matahari jatuh,
selama 1 jam.
4.
Luka bekas irisan dangkel yang msih tertanam segera dilumuri
dengan zat penutup luka (seperti : TB-1982 atau
Acid Free Coalteer) untuk mencegah hama dan penyakit.
5.
Bibit sagu direndam dalam air aerobic selama 3-4 minggu. Setelah
itu bibit ditanam.
6.
Penyiapan dangkel sebaiknya dilakukan pada waktu menjelang sore
hari, kemudian pada sore hari dangkeldikumpulkan
dan pada waktu malam hari diangkut ke lahan, untuk menghindari kerusakan dangkel
oleh cahaya matahari.
D.3.
Teknik Penyemaian Benih
a)
Cara generatif :
Secara
generatif penyemaian benih tanaman sagu dapat dilakukan dengan cara
perkecambahan tidak
langsung,
penyiapan media, penataan bibit dan pembibitan, sebagai berikut.
1.
Perkecambahan tak langsung Penyiapan
media : Wadah atau bak dari bata atau bambu berukuran tinggi 30-40 cm, panjang
tidak lebih dari 2
meter dan lebar 1,2 – 1,5 cm. Selanjutnya sepertiga bagian bawah diisi pasir
dan atasnya serbuk gergaji basah. Penataan
Bibit : bibit ditata dengan jarak 10 x 10 cm; 10 x 15 cm; atau 15 x 15 cm
dengan posisi miring atau tegak, bagian
lembaga diletakkan di bawah, ¾ bagian bibit ditekan dalam serbuk gergaji.
Kelembaban media dijaga antara 80-90%.
Setelah umur 1-2 bulan dan sudah berdaun 2-3 lembar, bibit dipindah ke bedeng
pembibitan.
2.
Pembibitan (Perkecambahan tak langsung di media pembibitan)
Penyiapan
media : Tanah diolah sedalam 45-60 cm, digemburkan dan ditambah pupuk dasar.
Ukuran bedeng tinggi 30
cm; lebar 1,25 m; dan panjang + 8-10 dengan jarak antar bedengan 30-50 cm.
Pengaturan
pembibitan tanpa penjarangan : Bibit ditanam dengan jarak 25 x 25cm sampai
dengan 40 x 40 cm. Pengaturan
pembibitan dengan penjarangan : Pada mulanya bibit ditanam dengan jarak rapat,
yaitu 12,5 x 12,5 cm; 15 x 15
cm; atau 20 x 20 cm.
D.4.
Pemeliharaan Penyemaian
Cara
generatif dengan penjarangan :
1.
Dilakukan setelah satu bulan, yaitu menjadi 25 x 25 cm; atau 40 x
40 cm.
2.
Selama masa penyemaian kelembaban dipertahankan 80 – 90 %
3.
Diberi naungan agar tidak kena cahaya matahari langsung.
4.
Peyiraman dilakukan setiap saat.
D.5.
Pemindahan Bibit
a).
Cara generatif :
Bibit
yang berumur 6 -12 bulan dapat dipindahkan atau ditanam. Cara pengangkatannya
ke kebun atau tempat penanaman
mudah dan murah.
b).
Cara Vegetatif
Setelah
diambil dapat langsung ditanam.
1.
Pengolahan Media Tanam
2.
Persiapan
Lahan
dipilih yang sesuai dengan ketentuan. Menurut kebiasaan petani sagu Riau dan
Maluku, penanaman sagu
dilakukan pada awal musim hujan.
1.
Pembukaan Lahan
Lahan
dibersihkan dari semua vegetasi di bawah diameter 30 cm dekat permukaan tanah
dan semua pohon yang
tinggal. Vegetasi bawah dan ranting – ranting kecil tersebut dibakar dan abunya
untuk pupuk. Pokok – pokok
batang yang besar, yang sulit penggaliannya dapat ditinggalkan begitu saja di
lahan, kecuali pokok – pokok yang
berada pada calon baris tanaman harus dibersihkan.
1.
Pembentukan bedengan Dilakukan
untuk penanaman dengan cara blok (biasanya dilakukan perusahaan perkebunan
sagu). Adapun
tata cara pembangunan blok adalah:
1.
Ukuran blok 400 x 400 m, jadi satu blok luasnya 16 ha. Biasanya di
tengah – tengah blok
dibangun
kanal tersier.
2.
Kanal yang harus dibangun ada 3 macam, yaitu : kanal utama, kanal
sekunder, dan kanal tersier.
3.
Kanal utama adalah kanal yang digali tegak lurus terhadap sungai,
dibangun di setiap dua blok kebun sagu, jaraknya
dari kanal utama satu dengan yang lain adalah 800 m. Fungsinya sebagai
pengaliran air dari sungai ke dalam
blok – blok sagu, dan sebagai jalur transportasi utama dari kebun ke sungai dan
sebaliknya, serta untuk penyanggah
pengaruh air pasang. Kanal utama ini lebarnya 2,5 m.
4.
Kanal sekunder adalah kanal yang digali tegak lurus terhadap kanal
utama (melintang pada blok dan kanal utama).
Kanal ini berfungsi sebagai pembatas antara empat blok sagu disebelahnya;
sebagai jalur transportasi sagu
dari kebun dan atau kanal tersier ke kanal utama. Lebar kanal sekunder adalah 2
m.
5.
Kanal tersier adalah kanal yang digali pada pertengahan blok atau
di antara dua blok atau melintangi di antara
blok – blok yang saling berseberangan dan sebagai jalur transportasi dari kebun
sagu bagian dalam, ke sungai
atau kanal utama, atau ke kanal sekunder atau juga ke kanal tersier melintang
dan sebaliknya. Lebar kanal
tersier adalah 1,5 m.
6.
Saluran drainase lebarnya 0,75 – 1,00 m.
7.
Lain - lain Menentukan
sistem dan alat transportasi, karena lahan penanaman sagu didominasi oleh lahan
yang berupa rawa
dan lahan pantai yang sering dipengaruhi pasang surut. Lahan sebagian merupakan
daerah berair, maka infrastruktur
harus terdiri atas sistem kanal sebagai pengganti jalan darat.
1.
Penanaman dan Penyulaman
2.
Penentuan Pola tanam
Penanaman
dengan sistem blok adalah jarak tanam atau jarak lubang antar bervariasi antara
8-10 meter, sehingga satu
hektar hanya menampung + 150 buah. Jarak tanam yang dianggap ideal adalah :
1.
Sagu Tuni 8 x 8 atau 9 x 9 m, hubungan segitiga sama sisi,
sehingga 1 hektar akan memuat 143 tanaman.
2.
Sagu Ihur 9 x 9 m, hubungan segitiga sama sisi, sehingga 1 hektar
akan memuat 143 tanaman.
3.
Sagu Molat 7 x 7, hubungan segi empat, sehingga 1 hektar akan
memuat 2043 tanaman
4.
Jika ketiga varietas ditanam secara bersama – sama, maka ditanam
secara terpisah menurut blok.
5.
Pembuatan Lubang tanam
Lubang
tanam digali sebulan/selambat-lambatnya 1 minggu sebelum penanaman dengan
ukuran lubang 30x30x30 cm.
Hasil galian tanah bagian atas dipisahkan dari tanah lapisan bawah dan
dibiarkan beberapa hari. Pada lubang tanaman
itu ditempatkan pancang – pancang bambu, tiap lubang 2 pacang.
1.
Cara Penanaman
Cara
penanaman dilakukan dengan membenamkan dangkel ke dalam lubang tanaman. Bagian
pangkal dangkel ditutup
dengan tanah remah bercampur gambut. Tanah penutup jangan ditekan tapi dangkel
jangan sampai bergerak. Tanah
lapisan atas dimasukkan sampai separuh lubang apabila mungkin di campur puing –
puing. Akar – akar dibenamkan
pada tanah penutup lubang dan pangkalnya agak ditekan sedikit ke dalam tanah.
1.
Penyiangan (pengendalian gulma)
Penyiangan
dilakukan terhadap gulma dan dilakukan pada sagu muda (3 – 4 tahun), sebab
rawan terhadap serangan
hama. Gulma juga akan memperbesar peluang kebun dilanda kebakaran. Proses
penyiangan dapat dilakukan
dengan menggunakan tangan, sabit, parang, cangkul dan sebagainya. Hasil dari
penyiangan dipendam/dikomposkan.
Bila gulma mengandung hama/vektor dan kayu, dibakar dan abunya dijadikan pupuk.
1.
Pengendalian Hama dan Penyakit
Pada
tanaman sagu terdapat hama dan penyakit yang dapat mengurangi hasil panen.
Beberapa jenis hama dan penyakit
adalah sebagai berikut.
Hama
a.
Kumbang (Oryctes rhinoceros sp.)
Gejala
dari serangan hama ini adalah terdapat lubang pada pucuk daun bekas gerekan
kumbang, setelah berkembang
tampak terpotong seperti di gunting dalam bentuk segitiga. Pengendalian dapat
dilakukan secara mekanis
dan bilogis. Pengendalian secara mekanis adalah dengan cara pohon – pohon sagu
yang mendapat serangan
ditebang dan dibakar. Pengendalian secara biologis dapat dengan menggunakan
musuh alami.
b.
Kumbang sagu (Rhynchophorus sp)
Ciri
dari serangan hama ini adalah, serangan sekunder setelah kumbang oryctes biasanya
meletakkan telur di luka bekas
oryctes. Bila serangan terjadi pada titik tumbuh dapat menyebabkan kematian
pohon. Pengendalian dapat dilakukan
dengan cara mekanik dan biologis.
c.
Ulat daun Artona (Artona catoxantha, Hamps. Atau Brachartona
catoxantha)
Ulat
daun selain merusak daun pada sagu, juga menyerang pada daging buah, ulat daun
ini menyerang jaringan dalam
daun. Pengendalian pada ulat daun dapat dilakukan secara mekanik dan biologis.
d.
Babi hutan
Binatang
ini merusak sagu tingkat semai dan sapihan (umur 1-3 tahun), memakan umbut
(pucuk batang yang masih
muda). Pengendalian hama binatang ini adalah dengan cara memburu dan
membunuhnya agar populasi terkendali.
e.
Kera (Macaca irus)
Binatang
ini mempunyai potensi untuk merusak bagian sagu muda dan selalu merusak lebih
banyak daripada yang dibutuhkan. Pengendalian
untuk binatang ini sama dengan pengendalian binatang babi hutan
1.
Panen
Ciri
dan umur panen
Panen
dapat dilakukan umur 6 -7 tahun, atau bila ujung batang mulai membengkak
disusul keluarnya selubung bunga
dan pelepah daun berwarna putih terutama pada bagian luarnya. Tinggi pohon 10 –
15 m, diameter 60 – 70 cm, tebal
kulit luar 10 cm, dan tebal batang yang mengandung sagu 50 – 60 cm. Ciri pohon
sagu siap panen pada umumnya
dapat dilihat dari perubahan yang terjadi pada daun, duri, pucuk dan batang.
Cara penentuan pohon sagu yang
siap panen di Maluku adalah sebagai berikut :
1.
Tingkat Wela/putus duri, yaitu suatu fase dimana sebagian duri
pada pelepah daun telah lenyap.
Kematangannya
belum sempurna dan kandungan acinya masih rendah, tetapi dalam keadaan terpaksa
pohon ini
dapat di panen.
2.
Tingkat Maputih, ditandai dengan menguningnya pelepah daun, duri
yang terdapat pada pelepah daun hampir seluruhnya
lenyap, kecuali pada bagian pangkal pelepah masih tertinggal sedikit. Daun muda
yang terbentuk ukurannya
semakin pandek dan kecil. Pada tingkat ini sagu jenis Metroxylon rumphii
Martius sudah siap dipanen, karena
kandungan acinya sangat tinggi.
3.
Tingkat Maputih masa/masa jantung, yaitu fase dimana semua pelepah
daun telah menguning dan kuncup bunga
mulai muncul. Kandungan acinya telah padat mulai dari pangkal batang sampai
ujung batang merupakan
fase yang tepat untuk panen sagu ihur (Metroxylon sylvester Martius)
4.
Tingkat siri buah, merupakan tingkat kematangan terakhir, di mana
kuncup bunga sagu telah mekar dan bercabang
menyerupai tanduk rusa dan buahnya mulai terbentuk. Fase ini merupakan saat
yang paling tepat untuk
memanen sagu jenis Metroxylon longisipium Martius
Cara
Panen
Langkah-langkah
pemanenan sagu adalah sebagai berikut :
1.
Pembersihan untuk membuat jalan masuk ke rumpun dan pembersihan
batang yang akan di potong untuk memudahkan
penebangan dan pengangkutan hasil tebangan.
2.
Sagu dipotong sedekat mungkin dengan akarnya. Pemotongan
menggunakan kampak/mesin pemotong (gergaji
mesin).
3.
Batang dibersihkan dari pelepah dan sebagian ujung batangnya
karena acinya rendah, sehingga tinggal gelondongan
batang sagu sepanjang 6 – 15 meter. Gelondongan dipotong – potong menjadi 1-2
meter untuk
memudahkan
pengangkutan. Berat 1 gelondongan adalah + 120 kg dengan diameter 45 cm dan
tebal kulit 3,1 cm.
Periode
Panen dan Perkiraan Produksi
Pemanenan
kedua dilakukan dengan jangka waktu + 2 tahun. Perkiraan produksi hasil yang
paling mendekati kenyataan
pada kondisi liar dengan produksi 40 – 60 batang/ha/tahun, jumlah empulur 1
ton/batang, kandungan aci sagu
18,5 %, dapat diperkirakan hasil per hektar per tahun adalah 7 – 11 ton aci
sagu kering. Secara teoritis, dari satu batang
pohon sagu dapat dihasilkan 100 -600 Kg aci sagu kering. Rendemen total untuk
pengolahan yang ideal adalah
15%.
2.
Teknik Produksi Bioethanol Sagu
Bagian
terpenting dalam tanaman sagu adalah batang sagu karena merupakan tempat
penyimpanan cadangan makanan
(karbohidrat) yang dapat menghasilkan pati sagu. Tinggi batang sagu dewasa
mencapai 10 m . Ukuran dari batang
sagu dan kandungan patinya tergantung pada jenis sagu, umur dan habitatnya.
Pada umur panen sekitar 11 tahun ke
atas empulur sagu mengandung pati sekitar 15-20 persen. Setiap pohon sagu dapat
menghasilkan tepung sagu berkisar
antara 50-450 kg tepung sagu basah. Kandungan
pati maksimal terjadi pada waktu sagu sebelum berbunga. Munculnya primordia
bunga biasanya menunjukkan
kandungan pati menurun. Kandungan pati menurun karena digunakan sebagai energi
untuk pembentukan bunga
dan buah. Setelah pembungaan dan pembentukan buah, batang akan menjadi kosong
dan tanaman sagu mati.
Keadaan
tersebut mempermudah petani dalam mengetahui kandungan pati sagu secara
maksimal.
Sagu
merupakan salah satu sumber karbohidrat potensial disamping beras, khususnya
bagi sebagian besar masyarakat
di kawasan Timur Indonesia seperti Irian Jaya dan Maluku. Beberapa produk
olahan dari pati sagu antara lain papeda,
soun, dan ongol-ongol. Diperkirakan hampir 90% areal sagu Indonesia berada di
Irian Jaya dan saat ini arealnya menyusut
akibat esksploitasi yang berlebihan. Sistem pengolahan sagu di Indonesia masih
sangat rendah yang ditandai dengan
kapasitas dan produktivitas pengolahan yang masih rendah.
Di
pasaran internasional tepung sagu digunakan sebagai bahan substitusi tepung
terigu untuk pembuatan biskuit, mie, sirup
berkadar fruktosa tinggi, industri perekat, dan industri farmasi. Pemanfaatan
dan nilai tambah sagu pada tingkat petani
masih sangat sederhana. Hal ini karena sebagian besar tujuan pengolahan sagu
hanya untuk memenuhi kebutuhan
keluarga. Cara sederhana tersebut menghasilkan rend men yang rendah dan kurang
efisien. Sagu
memiliki kandungan karbohidrat, protein, lemak, kalsium, dan zat besi yang
tinggi. Dengan kandungan tersebut, sagu
berpotensi dijadikan sebagai bahan baku sirup glukosa yang dapat meningkatkan
nilai tambah sagu. Pati sagu mengandung
27% amilosa dan 73% amilopektin. Perbandingan komposisi kadar amilosa dan
amilopektin akan mempengaruhi
sifat pati. Semakin tinggi kadar amilosa maka pati bersifat kurang kering,
kurang lekat dan mudah menyerap
air (higroskopis). Pati
sagu memiliki granula yang berbentuk elips agak terpotong dengan ukuran granula
sebesar 20-60 mm dan suhu gelatinisasinya
berkisar 60-72 C. Sedangkan menurut Wirakartakusumah et al., (1986) suhu
gelatinisasi pati sekitar 72- 90
C.
1.
Hidrolisis Pati
Sebagai
bahan baku bioetanol, pati sagu akan dihidrolisis untuk mendapatkan glukosa,
kemudian dilakukan fermentasi untuk
mendapatkan bioetanol. Hidrolisis pati sagu akan menghasilkan hidrolisat pati
yang merupakan cairan kental dengan
komponen utamanya glukosa. Hidrolisis pati menjadi glukosa dapat dilakukan
dengan bantuan asam atau enzim pada
waktu, suhu dan pH tertentu. Berbagai cara hidrolisis pati telah banyak
dikembangkan diantaranya yaitu hidrolisis asam,
hidrolisis enzim dan kombinasi asam dan enzim. Hidrolisis
pati menggunakan asam memiliki diagram proses yang sederhana, namun memerlukan
persyaratan peralatan
yang rumit (tahan panas, tekanan tinggi). Berbeda dengan hidrolisis enzimatis,
selain kondisi proses yang tidak ekstrim,
pemakaian enzim dapat menghasilkan rendemen dan mutu larutan glukosa yang lebih
tinggi dibandingkan hidrolisis
secara asam. Pada hidrolisis secara enzimatis ikatan pati dipotong sesuai
dengan jenis enzim yang digunakan, sedangkan
apabila menggunakan asam pemotongan dilakukan secara acak. Pada
proses hidrolisis pati sagu terdapat tiga tahapan dalam mengkonversi pati yaitu
tahap gelatinisasi, likuifikasi dan sakarifikasi.
Tahap gelatinisasi merupakan pembentukan suspensi kental dari granula pati,
tahap likuifikasi yaitu proses hidrolisis
pati parsial yang ditandai dengan menurunnya viskositas dan sakarifikasi yaitu
proses lebih lanjut dari hidrolisis untuk
menghasilkan glukosa. Pada
tahap likuifikasi terjadi pemecahan ikatan a-1,4 glikosidik oleh enzim
a-amilase pada bagian dalam rantai
polisakarida
secara acak sehingga dihasilkan glukosa, maltosa, maltodekstrin dan a-limit dekstrin.
Enzim. a-amilase merupakan
enzim yang menghidrolisis secara khas melalui bagian dalam dengan memproduksi
oligosakarida dari konfigurasi
alfa yang memutus ikatan a-(1,4) glikosidik pada amilosa, amilopektin, dan
glikogen. Ikatan a-(1,6) glikosidik tidak
dapat diputus oleh a-amilase, tetapi dapat dibuat menjadi cabang-cabang yang
lebih pendek (Nikolov dan Reilly, 1991).
Enzim a-amilase umumnya diisolasi dari Bacillus amyloquefaciens, B.
licheniformis, Aspergillus oryzae, dan A. niger.
pH optimum untuk enzim ini sekitar 6 dengan suhu optimum 60 C.
Jika suhu semakin ditingkatkan maka pH optimum
pun semakin meningkat sampai sekitar tujuh.